Jumat, 12 Agustus 2011

Warisan Local Genius, Aset Wisata


Bangkrut suburnya sebuah produk kebudayaan sangat tergantung pada daya dukung persepsi dan responsi masyarakatnya. Bilamana masyarakatnya sudah mulai bosan dan jenuh dengan produk kebudayaannya sendiri, dan sudah mulai gandrung dengan produk budaya luar maka dapat dipastikan lambat ataupun cepat produk kebudayaannya akan mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, bila produk-produk kebudayaan itu masih setia dipertahankan sebagian besar lapisan masyarakatnya dan ditradisikan dari generasi ke generasi, bisa dipastikan produk budaya lokal tersebut membumi menjadi local genius.
Untuk mencapai sebuah produk budaya yang local genius, tentu saja dibutuhkan magnit-magnit yang tidak saja sebagai daya pembangkit bagi dirinya, tetapi juga daya tarik dan ruang gerak yang lebih luas. Dan tidaklah berlebihan bahwa ruang gerak yang luas tersebut dapat tercapai melalui jalur wisata. Sebab, secara operatif, antara budaya dan wisata, keduanya tidak sekedar saling melengkapi, melainkan interdepedentif (saling ketergantungan).

“Budaya tanpa wisata, bak ruh yang kehilangan jasadnya. Dan wisata tanpa budaya, bagai jasad tak bernyawa”. Adagium ini tidak berlebihan. Artinya, sebuah produk budaya hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan subur, bila telah menyatu dengan produk wisata. Dengan bahasa lain, keduanya akan bersinar terang, jika dijadikan dalam sebuah paket “tourist art” (seni wisata). Dan tentunya, daya tarik atau magnit yang dapat menimbulkan rasa kesenangan, kesejukan, kenyamanan, ketentraman inilah yang akan menjadi benang merahnya dalam pembangunan kepariwisataan. 

Demikian juga yang terjadi dengan produk budaya Melayu  yang sudah membaur dan menyatu dalam kesadaran kebudayaan masyarakat Bengkulu yang sekarang. Bahkan pengaruh budaya Melayu tersebut cukup menonjol pada setiap kesempatan prosesi-prosesi ritual, seperti pesta pernikahan, Sunatan Rasul (khitanan), Katam Kaji (Katam Qur’an), Potong Rambut (Membuai Anak), dan lain sebagainya. 

Di bidang keseniannya pun dapat dicermati dengan bermunculannya kelompok kesenian baik berupa sanggar tari, sanggar musik, maupun sanggar teater. Di wilayah Kota tercatat ada 7 kelompok musik Gamat Melayu (data base KSB: 2003), belum termasuk kesenian Dendangnya. Bahkan para pekerja seni yang tergabung dalam wadah Komunitas Seniman Bengkulu (KSB) telah membentuk kelompok teater tradisional yang berlabel “Panggung Bangsawan Bengkulu”sejak tahun 2000. Seni pertunjukan rakyat dalam bentuk teater tradisional tersebut tidak sekedar berpotensi sebagai pelestarian budaya Melayu, tetapi juga aset bagi pengembangan kepariwisataan di Bengkulu. 

Yang menjadi persoalan, magnit-magnit kebudayaan yang bagaimana yang perlu diberdayakan agar mampu menjadi sinar penerang dalam kegelapan, dan mampu berdendang ria di atas panggung dunia kepariwisataan. Selanjutnya, siapa saja yang mesti terlibat di dalamnya. Barangkali, persoalan-persoalan inilah yang secara substansial perlu diproritaskan untuk menciptakan sebuah strategi kebudayaan, agar setiap produk budaya lokal berpotensi sebagai daya dukung dalam pembangunan kepariwisataan.

Sebagai bagian dari produk industri pariwisata, maka warisan tradisi ke- Melayu- an tersebut perlu diberdayakan secara optimal agar memiliki daya tarik bagi para wisatawan. Dan sebaiknya, perumusan empowerment strategy (strategi pemberdayaan) kewisataan ini melibatkan stake holder — para pemikir seni, budayawan, sejarawan, usahawan, maupun para birokrat yang berakal seni. 

Penerapan strategi pemberdayaan tradisi ke-Melayu-an ini, paling tidak harus memperhatikan dua hal. Pertama, harus tetap menjaga entitas nilai estetis dan nilai culturalnya. Apabila entitas nilai seninya cenderung terabaikan, maka dikawatirkan dapat menurunkan daya tarik para wisatawan. Dan ini bisa terjamin bila melibatkan peran aktif dari para pemikir atau pekerja seni (seniman ). Selanjutnya, peran sejarawan maupun budayawan diharapkan dapat merekonstruksi serta memanfaatkan sumber daya warisan budaya masa lampau yang potensial dalam mendukung pembangunan kepariwisataan.

Yang kedua, yaitu memperhatikan kecenderungan selera kebutuhan para wisatawan. Bahwa wisatawan cenderung ingin menikmati obyek wisata sebanyak-banyaknya, dalam waktu sesingkat-singkatnya, mudah dijangkau oleh transportasi, aman, nyaman, dan dengan harga semurah-murahnya. Serta keinginan-keinginan lain seperti, ingin makan dan minum yang khas, dapat membeli barang-barang souvenir sebagai cendera mata (baik berupa barang-barang kerajinan, termasuk buku-buku sejarah dan budayanya) di sekitar lokasi wisata.
Untuk mengantisipasi kecenderungan wisatawan yang ingin menikmati hasil budaya lokal dalam waktu yang relatif singkat, maka diperlukan sebuah produk budaya yang packaged (sudah dikemas) dalam format yang kecil dan padat.
Bagaimana juga kaum seniman mempunyai andil besar dalam pemasaran produk wisata. Tanpa keterlibatan para pekerja seni, maka produk-produk wisata bagai sebuah patung gelap tanpa pancaran sinar estetika. Sebaliknya, melalui sentuhan olah pemikiran dan olah keterampilan para seniman itulah, produk-produk wisata menjadi lebih bermakna, dan bercahaya, karena tersinari oleh ruh dan kalbunya nilai-nilai estetika.

Karenanya, proaktif para seniman baik secara individual maupun melalui sanggar-sanggar dalam mengemas produk-produk seni wisata tidak saja terbatas pada kemasan seni pertunjukan (seni tari, seni musik, seni teater, seni resitasi), tapi juga berbagai jenis seni rupa murni (seni lukis, seni patung, seni grafis), seni disain, maupun seni kriya (kulit, kayu, logam, dan lain-lain), serta seni multimedia, bahkan mungkin seni alternatif yang bernuansa local genius. Dengan demikian, perlu keterlibatan para seniman dari berbagai bidang spesialisasinya.
Dan sebaiknya, para seniman dalam penggarapan seninya tidak keluar jauh dari koridor bidang ketrampilannya, agar lebih terjamin kualitas produk seninya. Di samping itu, diperlukan sebuah wadah tempat penggemblengan kaum seniman agar tidak terjebak dalam alienasi kebudayaannya.

Keterlibatan secara aktif beberapa lembaga/instansi yang terkait dengan kewisataan mutlak diperlukan, terutama para stake holder (sebagai mitra) Dinas Pariwisata yang lebih berperan sebagai manajernya. Dan gaya manajerialnya itulah yang nanti mewarnai keberadaan dan perkembangan kewisataan.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah peran Dewan Kesenian Daerah (DKD) atau Dewan Kesenian Kota (DKK), selaku DPR nya kesenian. DKD/DKK tidak saja sekedar sebagai wadahnya para seniman, atau payungnya para sanggar seni, tetapi harus juga mampu menangkap dan mengakomodir segala bentuk pemikiran, ide, serta aspirasi para senimannya. Dengan proaktifnya DKD/DKK ini, maka masyarakat seni dengan segala aktivitas keseniannya dapat dipastikan semakin berkembang cerah. Dan tentunya ini sangat mendukung program kepariwisataan di Bengkulu.

Di samping itu, keterlibatan para pemilik biro travel, biro penerbangan, restaurant, hotel ataupun guesthoese terhadap kewisataan juga sangat diperlukan. Sebab besarnya arus wisatawan terutama dari luar daerah maupun manca, jelas berpengaruh terhadap sumber pengahasilan mereka. Karenanya, setidak-tidaknya, ada kerja sama dengan para seniman baik melalui sanggarnya maupun via DKD/DKK nya (kalau berfungsi). Dan kesejahteraan sosial tersebut tentunya disertai dengan dukungan kontribusi materialnya sebagian dari hasil keuntungan fnansial yang diperoleh dari kunjungan para wisatawan.
Sekian saja !

1 komentar: